Total Tayangan Halaman

Sabtu, 02 Maret 2013

Abu Nawas Paling Kaya Raya

Abu Nawas Paling Kaya Raya

Sebagai rakyat kecil, Abu Nawas sering menyelipkan kritikan-kritikan lewat humor-humornya yang jenaka sehingga meski mengena, raja tetapi tak bisa marah dibuatnya. Seperti dalam kisah ini, pasar tempat orang berdagang menjadi heboh gara-gara celotehan Abu Nawas. “Kawan-kawan, hari ini saya sangat membenci perkara yang haq, tetapi menyenangi yang fitnah. Hari ini saya menjadi orang yang paling kaya, bahkan lebih kaya daripada Allah SWT,” ujar Abu Nawas.

Omongan Abu Nawas itu sungguh aneh karena selama ini dia termasuk orang yang alim dan taqwa meski suka jenaka. Karuan saja polisi kerajaan menangkap dan menghadapkannya kepada khalifah.

“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata begitu?” tanya khalifah.
“Benar, Tuan,” ujarnya santai.
“Mengapa kau berkata begitu, sudah kafirkah engkau?”
“Saya kira Khalifah-pun sama seperti saya. Khalifah pasti membenci perkara yang haq,” ujarnya.
“Gila benar engkau,” bentak khalifah mulai marah.
“Jangan keburu marah, Khalifah. Dengarkan dulu
keterangan saya,” kata Abu Nawas meredakan marah khalifah.
“Keterangan apa yang kau dakwahkan. Sebagai seorang muslim, aku harus membela yang haq, bukan malah membencinya, tahu?” ujar khalifah geram.
“Setiap ada orang membacakan talqin, saya selalu mendengar ucapan bahwa mati itu haq, begitu juga dengan neraka. Tidakkah khalifah juga membencinya seperti aku?” katanya.
“Cerdik pula kau ini,” ujar khalifah setelah mendengar penjelasan Abu Nawas.

“Tapi apa pula maksudmu kau menyenangi fitnah?” tanya khalifah menyelidik.
“Sebentar, Khalifah. Barangkali Anda lupa bahwa di dalam Al-Quran disebutkan bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Padahal Khalifah menyenangi harta dan anak-anak Khalifah seperti saya. Benar begitu, Khalifah?”

“Ya, memang begitu. Tapi mengapa kau mengatakan lebih kaya daripada Allah Yang Mahakaya itu?” tanya khalifah yang makin penasaran itu.

“Saya lebih kaya daripada Allah karena saya mempunyai anak, sedangkan Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,”
“Itu memang benar, tetapi apa maksudmu berkata begitu di tengah pasar sehingga membuat keonaran?” tanya khalifah tak habis mengerti.
“Dengan cara begini saya akan ditangkap dan dihadapkan pada Khalifah,” jawabnya kalem.
“Apa perlunya kamu menghadapku?”
“Agar memperoleh hadiah dari Khalifah,” jawab Abu Nawas tegas.
“Dasar orang pintar,” komentar khalifah. Sidang yang semua tegang untuk mengadili Abu Nawas tersebut menjadi penuh gelak tawa. Tak lupa khalifah memberikan uang sebagai hadiah kepada Abu Nawas dan menyuruhnya meninggalkan istana. Ngeloyorlah Abu Nawas sambil menyimpan dinar di sakunya. “Alkhamdulillah, dapat rejeki,” gumamnya

Abu Nawas Menagkap Angin


Abu Nawas Menagkap Angin

Abu Nawas kaget bukan main ketika seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya. Ia harus menghadap Baginda secepatnya. Entah permainan apa lagi yang akan dihadapi kali ini. Pikiran Abu Nawas berloncatan ke sana kemari. Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.

"Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya." kata Baginda. Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Ia yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihariapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.


Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar - benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda, Ia berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.

"Bukankah jin itu tidak terlihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. ia berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian manuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya. Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.

"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas? "
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang batol itu.
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda. Di dalam, Tuanku yang mulia." jawab Abu Nawas penuh takzim. "Aku tak melihat apa-apa." kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu." kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah. "Ampun Tuanku yang mulia, tedi hamba buang angin dan hamba. masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol." kata Abu Nawas ketakutan.

Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. "Heheheheh kau memang pintar Abu Nawas."

Tapi... jangan keburu tertawa dulu, dengar dulu apa kata Abu Nawas. "Baginda...!"
"Ya Abu Nawas!"
"Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini."
"Lalu apa maksudmu Abu Nawas?"
"Hamba. minta ganti rugi."
"Kau hendah memeras seorang Raja?"
"Oh, bukan begitu Baginda."
"Lalu apa maumu?"
"Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan."
"Kalau tidak?" tantang Baginda.
"Kalau tidak... hamba akan menceritakan kepada khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba!"
"Hah?" Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. "Baik permintaanmu kukabulkan!"

Abu Nawas dan Kambing

Abu Nawas dan Kambing

Di negeri Persia hiduplah seorang lelaki yang bernama Abdul Hamid Al-Kharizmi, lelaki ini adalah seorang saudagar yang kaya raya di daerahnya, tetapi sayang usia perkawinannya yang sudah mencapai lima tahun tidak juga dikaruniai seorang anak. Pada suatu hari, setelah shalat Ashar di Mesjid ia bernazar, “ya Allah swt. jika engkau mengaruniai aku seorang anak maka akan kusembelih seekor kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”. Setelah ia pulang dari mesjid, istrinya yang bernama Nazariah berteriak dari jendela rumahnya:
Nazariah : “hai, hoi, cuit-cuit, suamiku tercinta, aku sayang kepadamu, ayo kemari, cepat aku ggak sabaran lagi, kepingen ni, cepat, aku kepengen ngomong”

Abdul heran dengan sikap istrinya seperti itu, dan langsung cepat-cepat dia masuk kerumah dengan penasaran sebesar gunung.

Abdul : h, h, h, h, h, h, nafasnya kecapaian berlari dari jalan menuju kerumahnya “ada apa istriku yang
cantik?”
Nazariah : “aku hamil kang mas”
Abdul : “kamu hamil?, cihui, hui, “



Sambil meloncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur, Plok, dia terperosok ke dalam tempat tidurnya yang terbuat dari papan itu.

Tidak lama setelah kejadian itu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat cantik dan lucu. Dan diberi nama Sukawati

Pak lurah : “Anak anda kan laki-laki, kenapa diberi nama Sukawati?”
Abdul : “dikarenakan anak saya laki-lakilah makanya saya beri nama Sukawati, jika saya beri nama
Sukawan dia disangka homo.
Abdul : “Hai Malik (ajudannya) cepat kamu cari kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia”.
Malik : “tanduk sebesar jengkal manusia?” ia heran “mau cari dimana tuan?”
Abdul : “cari di dalam hidungmu dongol, ya cari diseluruh ke seluruh negeri ini”

Beberapa hari kemudian.

Malik : “Tuan Abdul, saya sudah cari kemana-mana tetapi saya tidak menemukan kambing yang punya
tanduk sejengkal manusia”
Abdul : “Bagaimana kalau kita membuat sayembara, cepat buat pengumuman ke seluruh negeri bahwa kita
membutuhkan seekor kambing yang memiliki tanduk sejengkal manusia untuk disembelih”

Menuruti perintah tuannya, Malik segera menempelkan pengumunan di seluruh negeri itu, dan orang-orang yang memiliki kambing yang bertandukpun datang kerumah Abdul, seperti pengawas Pemilu, Abdul memeriksa tanduk kambing yang dibawa tersebut.

Abdul : “hai tuan anda jangan menipu saya, kambing ini tidak memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”
kemudian ia pergi ke kambing lain “jangan main-main tuan, ini tanduk kambing palsu”.

Setelah sekian lama menyeleksi tanduk kambing yang dibawa oleh kontestan sayembara, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan nazarnya kepada Allah swt. Abdul hampir putus asa, tiba-tiba.

Abdul : “aha, saya teh ada ide, segera kamu ke ibu kota dan jumpai pak Abu dan katakan saya ingin
meminta tolong masalah saya.

Malik segera menuruti perintah tuannya, dan segera menuju ibu kota dan menjumpai Pak Abu yang punya nama lengkap Abu Nawas.

Malik : “Pak Abu, begini ceritanya, cus, cues, ces. Pak Abu bisa bantu tuan saya”
Pak Abu : “katakan pada tuan kamu, bawa kambing yang punya tanduk dan bayinya tersebut besok pagi ke mesjid Fathun Qarib.

Malik segera pulang dan memberitahukan kepada tuannya bahwa Pak Abu bisa membantu dan cus, cues, ces, sstsst,

Di esok pagi Abdul menjumpai Pak Abu dengan seekor kambing yang punya tanduk dan anaknya yang masih bayi tersebut, beserta istrinya.

Pak Abu : “Baiklah tuan Abdul, jika nazarmua kepada Allah swt. menyembelih kambing yang punya tanduk
sebesar jengkal manusia, sekarang tunjukkan mana kambing yang kau bawa kemari, dan mana anakmu”
Abdul : “ini kambing dan anak saya Pak Abu”

Pak Abu kemudian mengukur tanduk kembing tersebut dengan jengkal anak bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul

Pak Abu : “sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah swt. karena sudah dapat kambing yang pas”
Abdul : “cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu

Abu Nawas diusir dari Kota

Abu Nawas diusir dari Kota

Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri kelahirannya sendiri. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negerinya tercinta hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas.

"Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah putih. Ia berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bemama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. Ia harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. Ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain."

Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata. Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang tertalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik dari pada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?


Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. "Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain."

Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat, menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ia melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman. Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira.

Desas-desus tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung. Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman. Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pemah membayangkan kalau Abu Nawas temyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa dikatakan telah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai

Memindahkan Istana ke atas Gunung


Memindahkan Istana ke atas Gunung

Baginda Raja baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.

Tanpa membuang waktu Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, "Abu Nawas engkau harus memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda sambil melirik reaksi Abu Nawas.

Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum. Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi, permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan. Abu Nawas pulang dengan hati masgul.


Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana. Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. Ia menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.

"Ampun Tuanku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda..." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas. "Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui. Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.

Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pemah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini. Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan sholat Hari Raya Idul Qurban.

Dan seusai sholat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin. Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, "Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"

"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat. Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. Ia berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.

"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.

"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas. "Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.

"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka." Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.

Tipuan Bodoh Kalahkan Tuan Tanah Pelit

Tipuan Bodoh Kalahkan Tuan Tanah Pelit

Hari itu puasa Ramadhan menjelang hari keenam. Seperti biasa, Abu Nawas duduk di beranda depan gubugnya sambil menunggu bedug maghrib tiba. Sambil memandang langit biru yang mulai nampak senja, Abu Nawas berpikir bagaimana agar dapur rumahnya agar tetap mengepul.
Sementara itu ada seorang tuan tanah yang rumahnya tak jauh dari rumah Abu Nawas. Sebagai tuan tanah tentu saja mempunyai rumah yang besar. Lengkap dengan seperangkat gudang makanan,lahan peternakan dan kamar. Hampir setiap orang yang berada didaerah itu bahkan Abu Nawas sendiri bekerja dengan tuan tanah itu,bekerja keras setiap hari hari tetapi dengan hasil yang sedikit. Dan bila meminjam bunga denga dirinya maka harus mengembalikan dengan bunga yang sangat tinggi. Tingkat penghisapanya sangat tinggi. Dan sebagai mana tuan tanah, dia mempunyai sifat yang pelit, kikir, tamak dan loba.

Tuan tanah ini mendengar kabar bahwa Abu Nawas mempunyai suatu kepandaian yang aneh. Bila ia meminjam sesuatu maka akan dikembalikan secara lebih, katanya pinjamannya itu beranak. Seperti meminjam seekor ayam maka ayam itu akan dikembalikan dua karena ayam itu beranak. Menarik juga kepandaian Abu Nawas ini pikir sang tuan tanah. Tuan tanah lalu berpikir agar Abu Nawas segera meminjam darinya. 


Secara kebetulan sore itu Abu Nawas ingin meminjam 3 butir telur kapada tuan Tanah itu. Tuan tanah tentu saja senang memberikan pinjaman kepada Abu Nawas karena pinjaman itu akan menjadi banyak karena beranak. Malahan tuan tanah itu menanyakan kepada abu nawas apakah ingin meminjam yang lain. Abu Nawas menjawab tidak perlu. Dia hanya butuh 3 butir telur. Tuan tanah itu bertanya lagi dengan Abu Nawas kapan telur itu akan beranak?Abu nawas menjawab itu tergantung dengan keadaan.

Lima hari kemudian, Abu Nawas kembali ke rumah tuan tanah itu. Mengembalikan telur menjadi 5 butir. Melihat 5 butir telur betapa senangnya Tuan tanah itu. Tuan tanah lalu menanyakan kepada abu nawas apakah ia akan meminjam lagi. Abu Nawas lalu meminjam piring tembikar sebanyak 2 buah. Tuan tanah itu memberikan dengan senang hati dan berharap piringnya itu menjadi banyak.

Lima hari kemudian Abu Nawas datang dengan membawa 3 piring tembikar. Walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi hatinya cukup gembira karena dua piring dulu hanya melahirkan 1 anak saja. Tak apa pikir sang tuan tanah karena bisa saja orang mempunyai anak tunggal bahkan tidak memiliki anak.

Abu Nawas dan Tuan tanah itu sama – sama senang. Maka dari itu tuan tanah itu meminjamkan uang senilai 1000 dinar. Jumlah yang sangat besar, gaji buat seluruh karyawan dan pekerjanya selama 1 bulan. Tuan tanah itu berangan – angan bahwa uang yang dipinjam abu nawas nanti akan diapakan karena akan banyak beranak. Tuan tanah itu menanti dengan tidak sabar. Ditunggu selama lima hari, abu nawas tidak kunjung datang. Hampir satu bulan, Abu nawas juga tidak datang. Saat tuan tanah akan mendatangi rumah Abu Nawas dengan centengnya, Abu Nawas datang. Mulanya tuan tanah gembira tapi sesudah Abu Nawas menjelaskan persoalannya, bukan main marahnya tuan tanah itu.

“Sayang sekali tuan. Uang yang saya pinjam itu, bukannya beranak, malah tiga hari kemudian mati mendadak. ”Mendengar kata- kata itu betapa geramnya tuan tanah. Hampir saja Abu Nawas dihajar centeng tuan tanah. Untung saja ada teman – teman abu nawas yang baru pulang dari bekerja.
Tuan tanah itu mengadukan kepada pengadilan. Tuan tanah itu berharap Abu Nawas akan digantung atau bahkan dihukum rajam. Dan, pengadilan pun digelar. Abu Nawas membeberkan semua duduk permasalahanya. Demikian juga tuan tanah itu menjelaskan. Pengadilan pun memutuskan cukup rasional (masuk akal). Kalau sesuatu bisa beranak sudah pasti bisa mati. Dan Abu nawas telah menjalankan lakonnya dengan baik. Adapun tuan tanah yang tamak itu telah tertipu karena wataknya sendiri yang kikir, tamak, pelit.

Abu Nawas Menang Lomba Berburu

Abu Nawas Menang Lomba Berburu

Pada suatu hari yang cerah, Raja Harun Ar-Rasyid dan para pengawalnya meninggalkan istana untuk berburu. Namun, di tengah perjalanan, salah satu pejabat kerajaan yang bernama Abu Jahil menyusul dengan terengah-engah di atas kudanya.

“Baginda… Baginda…. hamba mau mengusulkan sesuatu” katanya Abu Jahil mendekati sang Raja. “Apa usulm itu wahai Abu Jahil?... tanya Raja.

“Agar acara berburu ini menarik dan disaksikan banyak penduduk, bagaimana kalau kita sayembarakan saja?” ujar Abu Jahil dengan raut wajah serius.
Baginda Raja terdiam sejenak dan mengangguk-angguk.

“Hamba ingin beradu ketangkasan dengan Abunawas, dan nanti pemenangnya akan mendapatkan sepundi uang emas. Tapi, kalau kalah, hukumannya adalah dengan memandikan kuda-kuda istana selama 1 bulan” tutur Abu Jahil meyakinkan Raja.

Terompet Sayembara Ditiup
Akhirnya sang Raja menyetujui usulan Abu Jahil tersebut. Hitung-hitung sayembara itu akan memberikan hiburan kepadanya. Maka, dipanggillah Abunawas untuk menghadap, dan setelah menghadap Raja Harun, Abunawas pun diberi petunjuk panjang lebar.

Pada awalnya, Abunawas menolak sayembara tersebut karena ia tahu bahwa semua ini adalah akal bulus dari Abu Jahil yang ingin menyingkirkannya dari istana.
Tapi Baginda Raja Harun memaksa dan Abunawas tudak bisa menolak.

Abunawas berpikir sejenak

Ia tahu kalau Abu Jahil sekarang diangkat menjadi pejabat istana. Ia pasti mengerahkan semua anak buahnya untuk menyumbang seekor binatang buruannya di hutan nanti.

Namun , karena kecerdikannya, Abunawas malah tersenyum riang. Abu Jahil yang melihat perubahan raut muka Abunawas menjadi penasaran dbuatnya, batinnya berkata mana mungkin Abunawas bisa mengalahkan dirinya kali ini.
Akhirnya, Baginda menggiring mereka ke tengah alun-alun istana. Raja dan seluruh rakyat menunggu, siapa yang bakal menjadi pemenang dalam lomba berburu ini.
Terompet tanda mulai adu ketangkasan pun ditiup. Abu Jahil segera memacu kudanya secepat kilat menuju hutan belantara. Anehnya, Abunawas justru sebaliknya, dia dengan santainya menaiki kudanya sehingga para penonton banyak yang berteriak.

Menjelang sore hari, tampaklah kuda Abu Jahil memasuki pintu gerbang istana. Ia pun mendapat sambutan meriah dan tepuk tangan dari rakyat yang menyaksikannya. Di sisi kanan dan kiri kuda Abu Jahil tampak puluhan hewan yang mati terpanah. Abu Jahil dengan senyum bangga memperlihatkan semua binatang buruannya di tengah lapanangan.

“…Aku, Abu Jahil berhak memenangkan lomba ini. Lihat..binatang buruanku banyak. Mana mungkin Abunawas mengalahkanku?...” teriaknya lantang yang membuat para penonton semakin ramai bertepuk tangan.

Ribuan Semut

Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara kaki kuda Abunawas. Semua orang mentertawakan dan meneriakinya karena Abunawas tak membawa satu pun binatang buruan di kudanya.

Tapi, Abunawas tidak tampak gusar sama sekali. Ia malah tersenyum dan melambaikan tangan.

Baginda Raja menyuruh kepada 2 orang pengawalnya maju ke tengah lapangan dan menghitung jumlah binatang buruan yang didapatkan 2 peserta tersebut.

Dan kesempatan pertama, para pengawal menghitung jumlah binatang hasil buruan dari Abu Jahil.
“Tiga puluh lima ekor kelinci, ditambah lima ekor rusa dan dua ekor babi hutan, kata salah satu pengawal”.

“Kalau begitu akulah pemenangnya karena Abunawas tak membawa seekor binatangpun,” teriak Abu Jahil dengan sombongnya.

“Tenang… tenang…. aku membawa ribuan binatang. Jelaslah aku pemenangnya dan engkau wahai Abu Jahil, silahkan memandikan kuda-kuda istana. Menurut aturan lomba, semua binatang boleh ditangkap, yang penting jumlahnya,” kata Abunawas sambil membuka bambu kuning yang telah diisi dengan ribuan semut merah.

“Jumlahnya sangat banyak Baginda, mungkin ribuan, kami tak sanggup menghitungnya lagi,” kata pengawal kerajaan yang menghitung jumlah semut itu.

Melihat kenyataan itu, Abu Jahil tiba-tiba saja jatuh pingsan. Baginda Raja tertawa terpingkal-pingkal dan langsung memberi hadiah kepada Abunawas. Kecerdikan dan ketulusan hati pasti bisa mengalahkan kelicikan.

Pages

KOMENTAR